KH Mohammad Hasyim Asy'ari, atau biasa disebut KH Hasyim Ashari
beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan
arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
KH Hasyim Asyari merupakan putra
dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah,putra ketiga dari 11 bersaudara.
Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak
ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari
merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari
Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai
dasar Islam yang kokoh. Ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi
melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula
ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang
dirasakan wanita ketika melahirkan.
Awal Pendidikan Kyai Hasyim
Asyari dimulai dengan belajar dari Kakek dan Ayahnya yaitu Kyai Usman
dan Kyai Asyari. Kakeknya Kyai Usman pemilik pesantren juga di jombang
yang bernama Nggedang, selama 6 tahun beliau tinggal bersama Kakek dan
Neneknya Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke
Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai
Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah. saat umur
13 tahun dia sudah diminta Ayah nya mengajari santri-santri lain, yang
umurnya lebih tua dibandingkan Kyai Hasyim.
Principle of early
learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan
kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren,
sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya,
begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan
bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri
hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Saat
usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren,
antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di
Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di
Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Ada cerita yang cukup
mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai
Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin
istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli
cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah
cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu,
Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC.
Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan
penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim
menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas
keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi
sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun
setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan
pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul
Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di
tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau
kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo,Di
Pesantren Siwalan di Sidoarjo, pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub
inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang
diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan
alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di
Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat
kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat
ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan
dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah
pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang
telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Setelah
tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama
Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri
mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari
kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai
seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati
beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris
tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki
teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat.
Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air
bersama mertuanya. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya,
terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang
menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Tahun
1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci, beliau berangkat kembali ke
tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan
sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci
Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih
menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah
dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih
cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan
tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu
menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat
itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya
adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas
(dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam
ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang
Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Tahun l899
pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai
Usmansekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu
belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat
menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Kyai Hasyim
Asy'ari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng.
Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik
yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah
timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah
bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Nama
Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah
tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat
itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu
sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi
kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah
daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada
tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren
Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet,
Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai
lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap
penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasiKyai Hasyim
mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak
bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
KH. M. Hasyim Asya’ri
memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan
beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim”
dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh
ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi
ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf
Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28
orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya
telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang
sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara,
dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Kyai Hasyim bukan
saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang
sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai
Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa
sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan
menjual hasil pertaniannya.
Setelah dua tahun membangun
Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai
Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang
menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai
Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Dari
pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2)
Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim
(Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10)
Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an,
Nyai Nafiqoh wafat
sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai
Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan
ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir,
(2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Ketinggian
ilmu Kyai Hasyim terutama mampuni dalam ilmu hadist membuat setiap
Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan
Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat
Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di
Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Saat itu pula
terjadi dialog yang sangat mengesankan antara Kyai Hasyim dan Kyai
Cholil
“Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai
dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya
tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan
sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap
menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah
Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati
kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan
turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada
Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim
tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya,
ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat
menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak
memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang
murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan
akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua
hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru
kita.
Ribuan santri menimba ilmu kepada
Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri
Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan
berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R.
As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak
pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan
paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi
Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan
pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran
bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru
Besar) kepada Kyai Hasyim.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Disamping
aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari
1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’
(kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan
ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang
dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin
Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad
bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan
agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah
gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga
menyusun qanun asasi(peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli
sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu
ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan
dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’
yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim
kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang
dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh
untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan
sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama.
Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini,
melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena
itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk
sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh
ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham
ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu
pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada
sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan
agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan
pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua
orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut
terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya
pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang
kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian
diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU
sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Karena
pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi
perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
1937, pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada
santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan
kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah
menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
Harta benda yang berlimpah-limpah
Gadis-gadis tercantik
Akan
tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka
kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku
dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau
menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari
mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan
menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Pertama, ia memfatwakan
bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda
kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah
muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang
telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi
penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai
Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah.
Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim
di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah
Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan
membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada
tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat
keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai
oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam
pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda,
mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau
dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda
kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan
pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh
bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta
dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga
masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah
Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung,
sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah
tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda
yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan
represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para
pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan
terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini
dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban
berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi,
sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada
Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan
oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan
atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan
tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia.
Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah,
mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara
Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus
Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut
ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan
fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat
digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga
mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai
Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota
Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4
bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya
protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim
juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di
Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian
Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng
pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah
Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim
bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan
NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah
perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah
itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati
sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari
sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam
membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia
(Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi
umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am
(Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan
mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat,
sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII,
Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman
dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Setelah
Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih
sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir
bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M),
KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas
pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai
hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
Hannah
Khoiriyah
Aisyah
Azzah
Abdul Wahid
Abdul hakim (Abdul Kholiq)
Abdul Karim
Ubaidillah
Mashurroh
Muhammad Yusuf.
Menjelang
akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo,
Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4
orang putra-putri yaitu:
Abdul Qodir
Fatimah
Chotijah
Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad
Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim
(Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang
bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada
Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat
Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian
kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang
tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan
tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan
pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim
meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan
keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron
melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin
tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar
laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian
beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau
sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau
tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta
kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri
tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai
Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga
dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai
Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat,
misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas
tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan
(Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa
Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha
mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya
itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli
1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna
Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan
terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh
lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer,
kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri
Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini
berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat
mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh,
sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip
hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan
kalau perlu zonder istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan
lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis
disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan
umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini
merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat
dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi
sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab
yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab
yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan
yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
(Dari Berbagai Sumber)
1 comment:
Post a Comment