Al-’Allamah Al-Muhaqqiq Ad-Da’i Ilallah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith
Sungguh
menyedihkan zaman belakangan ini muncul pemahaman dan gerakan dari
sementara orang jahil yang telah berani menghina para shalafunashalihin
dan wali-wali Allah, baik lewat perkataan dan perbuatan mereka.
Orang-orang Jahil ini berani mengkritik, menghina dan menghujat
wali-wali Allah dg menolak kitab2 mereka, melarang orang bertawasul dan
ziarah ke maqom mereka. Bahkan ya Allah, kuburan orang2 mulia ini pun
akan mereka bongkar.
Berikut alfaqir kutipkan uraian ttg ”Dorongan Beradab kepada Ulama dan
Para Wali” yg diambil dari Kitab Thariqah Alawiyah karya Al-’Allamah Al-Muhaqqiq Ad-Da’i Ilallah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith,
Tarim-Hadaramaut-Yaman, diterbitkan oleh Penerbit Nafas, 2009. Penulis
adalah seorang Sayyid dari Ahlulbait, keturunan al-Husain, cucu
Rasulullah saw, dari keturuan Alwi, cucu Imam al-Muhajir. Penulis
bermazhab Syafi’i, beraqidah ahlussunnah wal-jamaah, mengikuti thariqah
Sadah Ba’alawi. Para ulama memuji penulis sbg seorang alim yg faqih,
’arifbillah, ahli nahu, Shahih al-Fadhilah, dsbnya. Penulis sekarang
aktif mengajar dan berdakwah ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Semoga Allah swt memeliharanya sbg pusaka Islam dan memberikan manfaat
kepada kaum muslimin dg keberadaannya.
Menghormati dan memberikan hak orang berilmu dan wali Allah hukumnya
Wajib karena mereka merupakan para pengemban syariah yang suci, para
penyeru ke jalan Allah, orang-orang yang memerintahkan kebajikan, dan
mencegah kemungkaran. Maka merekalah yang diikuti dan cahaya mereka yang
dijadikan petunjuk. Al-Quran al-Karim menunjukkan kemuliaan dan
keutamaan mereka. Sedangan sunnah Nabi saw menyatakan kedudukan mereka.
Allah swt berfirman dlm Surah al-Mujadilah ayat 11,”Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahun beberapa derajat.”
Rasulullah saw bersabda,”Tidak termasuk umatku orang yang tidak
menghormati orang yang lebih tua diantara kita, tidak menyayangi orang
yang lebih muda diantara kita, dan tidak mengetahui hak orang yang alim
diantara kita.”(di-takhrij-kan oleh Ahmada dlm Musnadnya (5:323),
ath-Thabrani dalam al-Kabir, dan selainnya dari Hadits Ubadah bin
as-Shamit dg isnad Hasan sbgmn dikatakan oleh al-Haitsami dlm a—Majma’).
Diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Allah ta’ala menghisab seorang
hamba, ternyata keburukannya lebih berat. Maka dia diperintahkan untuk
dibawa ke neraka.
Ketika dia telah dibawa, Allah berkata kepada Malaikat Jibril,
”Susullah hamba-Ku dan tanyakanlah, apakah dia pernah duduk di majelis
seoran alim ketika berada di dunia, agar Aku dapat mengampuninya dengan
syafaatnya?”
Maka Jibril bertanya kepada hamba itu, lalu dia menjawab,”Tidak pernah.”
Maka berkatalah Jibril,”Wahai Tuhan, Engkau lebih mengetahui keadaan hamba-Mu”.
Lalu Allah berkata lagi,”Wahai Jibril tanyakanlah apa dia mencintai seorang alim?.”
Maka Jibril pun bertanya kepadanya, lalu dia menjawab,”Tidak”.
Allah berkata lagi,”Wahai Jibril tanyakanlah apakah dia pernah duduk di satu meja dengan seorang alim?”
Jibril bertanya kepadanya, tetapi dia juga menjawab,”Tidak.”
Allah berkata lagi,”Wahai Jibril, tanyalah kepadanya tentang namanya
dan nasabnya. Jika namanya sama dengan nama seorang alim, maka dia akan
diampuni.”
Maka Jibril pun bertanya kepadanya, tetapi ternyata tidak sama.
Kemudian Allah berkata kepada Jibril,”Peganglah tangannya dan masukkan
dia ke dalam surga, karena dia mencintai seseorang yang mencintai
seorang alim.”
Lalu diapun diampuni dengan keberkahannya. (Dikutip dari penutup Kitab
Majma’ al-Bahrayn, karya Sy-Syaikh Ma’ruf bin Muhammad Bajammal. Beliau
adalah seorang syaikh yg saleh yg memiliki keutamaan, lahir sekitar 1200
H dan wafat 1286 H. Beliau mengambil ilmu dari al-Imam Abdurrahman bin
Muhammad bin Zain bin Sumaith, al-Imam Ahmad bin Umar bin Sumaith, dan
lain-lainn. Beliau menyusun kitab Majma’ al-Bahrain fi Manaqib al-Imam
Ahmad bin Zain dlm sebuah jilid yg besar. Beliau memiliki anak yg alim,
faqih dan penyair, Abdullah bin Ma’ruf yg wafat di Syibam thun 1292 H).
Abu Utsman al-Hiriy mengatakan,”Bersahabat dengan Allah Ta’ala adalah
dengan senantiasa merasakan kebesaran-Nya dan senantiasa merasa diawasi
oleh-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah saw adalah dengan mengikuti
sunnahnya dan senantiasa menetapi lahiriah ilmu. Bersahabat dengan para
wali Allah adalah dengan menghormati dan memberikan pelayanan
terhadapnya. Bersahabat dengan keluarga adalah dengan ahlak baik.
Bersahabat dg teman adalah senantiasa menyenangkannya selama bukan
merupakan dosa. Dan bersahabat dg orang-orang bodoh adalah dengan
mendoakan dan kasih sayang terhadap mereka.”
(Abu
Utsman Sa’id bin Ismail al-Hiriy an-Naisaburi (230-298H), adalah
seroang imam, pemberi nasihat, panutan, Syaikhul-Islam, dan wali Allah).
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan,”Hendaknya seorang
pertama-tama menghormati sisi ketuhanan, kemudian sisi kenabian, lalu
para ulama yang mengamalkan ilmunya, selanjutnya para wali Allah, karena
mereka adalah hamba-hamba-Nya yang khusus. Dan hendaknya jangan
menentang seseorang dari mereka dg menyebutkannya secara khusus. Al-Imam
al-Ghazali- meskipun sering menentang para ulama yg buruk-tetapi beliau
tidak menyebut seseorang secara khusus.”
Al-’Allamah Al-Muhaqqiq Ad-Da’i Ilallah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin
Sumaith mengatakan bahwa karenanya orang yang bersahabat dan bergaul
dengan mereka hendaklah berhati-hati, jangan sampai menentang dan
berpaling dari mereka. Karena menentang mereka berarti menentang
Rasulullah saw, dan menentang Rasulullah saw berarti menentang Allah
swt. Abu al-Hasan al-jausaqiy mengatakan,”Tanda kesengsaran adalah
apabila hamba dianugerahi bersahabat dg para ’arifbillah kemudian dia
tidak menghormati mereka.”
Ibnu ’Athaillah mengatakan bhw seandainya ada yg mengatakan,”Terkadang
ada orang yg menyakiti seorang wali tetapi tidak ada tanda-tanda
pembalasan terhadapnya.” Maka saya katakan,”dia diberi hukuman yg lebih
berat yg tidak diperlihatkan kepadanya. Hukumannya berupa kekerasan
hati, kebekuan pandangan, penyimpangan dari ketaatan, jatuh dlm maksiat,
atau dicabut kelezatan berbakti kepada-Nya. Jadi, tidak mesti
hukumannya disegerakan karena dunia ini singkat saja disisi Allah swt.
Di dalam hadits masyhur dikatakan,”Apabila Allah menghendaki keburukan
pada seorang hamba, maka ditahan siksanya di dunia sehingga ia akan
datang pada hari Kiamat dengan dosa-dosanya.” Semoga manfaat..
No comments:
Post a Comment