SYEKH YUSUF AL MAKASARI PAHLAWAN DI PUJA DI BEBERAPA NEGARA






Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani  Menurut Lontara warisan kerajaan kembar Gowa dan Tallo, masa kelahirannya adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan. Ini berarti masa lahir beliau setelah dua puluh tahun pengislaman kerajaan kembar Gowa dan Tallo oleh seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang digelari dengan Datuk ri Bandang.

Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa.



Oleh karena nama Abdullah sebagai ayah Syekh Yusuf tercatat dalam risalahnya yang berjudul Hâsyiyat fî Kitâb al-Anbâ’ fî I‘râb Lâ Ilâha Illallâh, Hamka menetapkan ayahnya yaitu Abdullah. Namun, anak cucunya di Sulawesi Selatan menamakannya Abdullah Khaidir sebagai bapak Syekh Yusuf. Tetapi nama yang terakhir ini menimbulkan kontroversi di mata masyarakat umum, karena ada yang menyangka bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Nabi Khaidir, tetapi informasi yang kuat adalah sebagaimana yang tertuang dalam silsilah keturunannya yang diwarisi turun-temurun para Raja Bugis di Sulawesi Selatan, yang dalam lontara itu dijelaskan bahwa ayahnya adalah Gallareng Mongcongloe, yang telah diberi nama Islam yaitu Abdullah Khaidir. Ia adalah saudara seibu dengan Raja Gowa, Sultan Alauddin. Menurut tradisi raja-raja di tanah Bugis, tetapi karena sifat tawadhu dan perhatiannya yang sangat besar terhadap Islam yang baru saja dianutnya, maka ia memilih untuk tidak menjadi raja. Dengan demikian, ia diberi gelar oleh masyarakat sebagai Galarang sementara Moncongloe adalah nama kampong yang dijadikan sebagai tempat tinggalanya.

Syekh Yusuf al-Makassaripun sejak kecil beliau mulai diajarkan hidup secara Islam. Beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan al-Quran melalui seorang guru mengaji yang bernama Daeng ri Tasammang. Setelah fasih membaca al-Quran, beliau belajar di pondok Pesantren Bontoala untuk menuntut ilmu-ilmu Islam dan ilmu alat, seperti Nahw, sarf, Balaghah, dan Mantiq.Pondok Pesantren ini didirikan pada tahun 1634, yang dipimpin oleh seorang ulama yang berasal dari Yaman yang bernama Syed Ba’Alawy bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-Allamah Tahir.

Selesai belajar dengan, gurunya dan atas saran gurunya  Syed Ba’ Alawy,  Syekh Yusuf melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Cikoang, Sebab pada masa itu pondok pesantren ini cukup maju dan terkenal dan kedalam ilmu yang dimiliki oleh gurunya, yaitu Syekh Jalaluddin al-Aidit, Seorang ulama dari Aceh yang mengembara ke tanah Bugis. Intelegensi yang tinggi membuat gurunya Syekh Jalaluddin al–Aidit menyarankan beliau melanjutkan menuntut ilmu ke jazirah arab yang pada waktu itu terkenal sebagai pusat studi

Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah (saat itu masih menjadi sentral intelektuali dunia Islam).

Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.

Pada tanggal 22 September 1644M, beliau berangkat dengan menumpang kapal Melayu, Malaka dengan tujuan menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabiah terutama di Mekah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten (Jawa Barat), maka beliaupun ikut singgah di pusat bandara kesultanan Banten. Dalam persinggahan inilah ia berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten, termasuk Abdul Fattah (putra mahkota), anak Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), Sultan kerajaan Banten pada masa itu.

Setelah beberapa lama berada di Banten, kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Aceh Darussalam sebelum melanjutkan perjalanannya ke Jazirah Arabia. Di Aceh beliau berkenalan dengan seorang tokoh ulama dan pemimpin serta khalifah “Tariqah al-Qadiriyyah” di Aceh, yaitu Syekh Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniriy.

Syekh Yusuf al-Makassari menghabiskan waktunya  selama transit di Banten dan di Aceh lebih kurang lima tahun. Sehingga diperkirakan beliau berangkat ke Jazirah Arabiah pada pertengahan tahun 1649M. Dan selama beliau berada di Banten dan di Aceh kegiatan beliau yang lebih dominan adalah berkomunikasi dengan ulama dan pemimpin masyarakat bertukar pengalaman dan memantapkan wawasan ilmu yang telah dimilikinya.

Perjalanan beliau selanjutnya adalah menuju Yaman. Kemungkinan kecendrungannya untuk singgah belajar di Yaman adalah atas saran gurunya, Syekh Muhammad Jilani di Aceh hal mana ia juga pernah belajar dan menerima ijazah Tarekat di negeri Yaman. Setelah beliau selamat tiba di Bandara Hadramaut (Yaman) beliau berguru pada Syekh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqi (w.1664), seorang ulama yang terkenal di Yaman pada masa itu dan juga Khalifah Tarekat al-Naqshabandiyyah.  

Setelah beliau menerima berbagai ilmu Islam di bawah asuhan Syekh Muhammad Abdul Baqi, beliau meneruskan perjalanannya ke Bandara al-Zubaid dan berguru pada Syed Ali al-Zubaidiy (w.1084). Gurunya yang kedua ini adalah seorang muhaddits dan tokoh sufi, dan beliau lebih dikenal sebagai ulama Ahl  al-Sunnah  wa al-Jamâ’ah di negeri Yaman pada zamannya. Sudah tentu Syekh Yusuf di sini di samping belajar,  juga menerima bimbingan tasawuf melalui al-Zubaidiy. Dan sekaligus menerima ijazah dan silsilah khilafah tarekat keluarga ulama al-Sadah al-Ba’alawiyyah, satu tarekat yang cukup banyak penggemarnya ketika itu, terutama di negeri Yaman dan sekitarnya.

Setelah beberapa lama mengaji di Yaman, terutama kepada kedua gurunya yang tersebut di atas, kemudian beliau meneruskan perjalanannya menuju kota Suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Selama di Mekah tidak ada rujukan yang menyatakan bahwa beliau mengaji selepas menunaikan ibadah haji. Malah seterusnya beliau menuju Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Sekaligus meneruskan pengajiannya di sana.

Di Madinah, beliau berguru pada Syekh Ahmad Qusysyiy (w.1661), Mullah Ibrahim al-Kawraniy (w.1690) dan Hassan al-Ajamiy (w.1701). Tiga ulama inilah yang amat masyhur ketika itu di Madinah dan menjadi tumpuan para penuntut untuk berguru kepada mereka. Terutama para penuntut yang berasal dari kepulauan Nusantara.

Selepas beliau mengikuti pengajian di Madinah dan mendapatkan penghargaan dari guru-gurunya yang yang disebutkan di atas, beliau meneruskan pengembaraannya ke negeri Syam (Damshiq) dengan tujuan yang sama yaitu untuk memperdalam lagi ilmu pengetahuannya serta memperluas pengalamannya. Di Damshiq beliau berguru di bawah bimbingan dan asuhan seorang tokoh dakwah dan ulama Sufi serta pakar hadits yang amat masyhur di zamannya, yaitu Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad al-Khalwatiy al-Qurashiy.

Untuk melengkapi pengalamannya, beliau melanjutkan perjalanan ke Istambul (Turki). Selepas beliau menimba banyak pengalaman di Istambul, beliau cenderung  kembali ke Mekah dan tinggal beberapa lama di sana. Di samping tujuan beribadah juga untuk mengkaji ulang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya selama dalam pengajian. Pada masa inilah beliau gunakan kesempatan mengajar kepada pelajar-pelajar yang berasal dari Nusantara dan memberi pengajian umum di masjid al-Haram pada musim haji kepada jamaah haji, terutama mereka yang berasal dari tanah Bugis (Sulawesi Selatan).
Di antara murid-murid beliau yang mendapat kepercayaan mengajarkan ilmu-ilmu yang diterimanya di Mekah ialah Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuang Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng. Mereka adalah berasal dari Sulawesi Selatan, dan mereka inilah yang menghidup suburkan tarekat Khalwatiyyah Syekh Yusuf di tanah Bugis.

Syekh Yusuf al-Makassari merupakan salah seorang sufi di Indonesia yang diilhami dan diberi kecenderungan memiliki dan menempuh jalan hidup sufi, di mana tujuan utamanya tersimpul pada tiga komponen, yaitu: al-taqarrub ila Allâh, senantiasa membersihkan jiwanya dari perbuatan-perbuatan yang madzmûmah, dan senantiasa berupaya mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

Konsep-Konsep Tasawuf Syekh Yusuf al-Makassari

1. Makna Tasawuf dan Hubungannya dengan Akidah.

Syekh Yusuf al-Makassari dalam kajiannya tidak membedakan antara perkataan tasawuf dan suluk. Beliau menyatakan bahwa istilah tasawuf merujuk kepada kaedah pengalaman syariah semata-mata. Suluk pada hakikatnya adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pengalaman syariah Islam, yaitu ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Walau bagaimanapun istilah tasawuf biasa juga digunakan merujuk kepada hasil dari pada amal ibadah seseorang hamba. Pandangan ini sesuai dengan makna tasawuf yang dikemukakan oleh al-Sya’rani dalam al-Tabaqat al-Kubra yang berbunyi sebagai berikut:

والتصوف إ نما هو زبدة عمل العبد بأ حكام الشر يعة
Tasawuf adalah hasil amalan hamba terhadap hukum-hukum syari’ah.

Definisi tasawuf yang digunakan oleh Syekh Yusuf, di antaranya sebagai berikut:
الجد فى السلوك إ لى ملك الملوك .
“ Bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Malik al-Muluk”. Di samping itu, definisi lain yang sering juga diungkapkan oleh beliau dalam tulisannya, ialah:

التصوف هو تجر بد القصد إ لى الله تعالى و آ خره هو التخلق با خلا قه سبحا نه     وتعال
Tasawuf ialah pemurnian qadas (niat) semata-mata kapada Allah, dan natijahnya ialah mengamalkan akhlak dengan akhlak Allah SWT. Juga ditemukan definisi  lain lagi, seperti berikut:

أ ول التصوف علم و أوسطه عمل و آخره مو هبة.
“Awal tasawuf adalah ilmu, pertengahannya amalan, dan akhirnya ialah pemberian”.

Tasawuf bagi Syekh Yusuf al-Makassari adalah merupakan amalan yang sungguh-sungguh dalam menjalani al-suluk, yaitu usaha mendekatkan diri kepada Allah semata-mata mengharapkan rida-Nya. Dengan demikian, seorang hamba Allah dapat mencapai tarap yang mulia dengan memiliki sifat terpuji yang diridahi oleh Allah SWT melalui suluk atau tasawuf.

Dalam upaya menjalankan pengajaran dan dakwah Islam melalui tasawuf, Syekh Yusuf selalu mengaitkan tasawufnya dengan aqidah Islamiah. Pesan ajaran beliau dalam berbagai tulisannya, terutama dalam al-Nafhah al-Saylaniyyah, Zubdat al-Asrar dan Habi al-Warid, selalu dikaitkan perlunya seorang hamba yang memulai suluknya dengan mengesahkan aqidahnya. Maksudnya yang paling utama diperlukan dalam menjalani amalan tasawuf (suluk) adalah asas aqidah yang sahih. Jika aqidah itu benar dan kuat, maka amalan tasawuf akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Akan tetapi jika aqidah  rapuh dan tidak benar, jelas akan merusak amalan selanjutnya, karena asas aqidah yang tidak benar menjadikan seorang salik bisa terperangkap dalam ajaran sesat dengan tidak disadari.

Akidah yang benar, menurut pandangan Syekh Yusuf adalah akidah yang berdasarkan kepada ittiba’ al-Rasûl. Artinya apa yang patut diyakini oleh hamba terhadap Allah adalah sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari qiyamat dan qada dan qadar-Nya, mestilah didasarkan kepada kedua rujukan dasar tersebut. Selain al-Quran dan al-Sunnah, tiada jalan untuk menjadikannya sebagai landasan aqidah yang benar.

Dalam risalah al-Futuhat al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf memperincikan rukun tasawuf kepada sepuluh perkara, yaitu:

Pertama : tahrid al-Tauhid, yang bermaksud memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah mengikuti kandunagn surat al-Ikhlas. Di samping itu, dalam meyakini keesaan Allah, mesti dijauhi dari sifat tasybîh dan tajsîm.

Kedua : Faham al-Sima’i, yang bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syekh mursyid dalam menjalani pendekatan diri kapada Allah yang menuju  pada tuntutan Islam yang benar.

Ketiga : Husn al-‘Ishra, yang bermaksud memperbaiki hubungan silaturrahim dalam pergaulan (muasarah).

Keempat : Ithar al-Ithar, yang bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh.

Kelima : Tark al-Ikhtiyar, yaitu bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i’timadkepada ikhtiar sendiri.

Keenam : Sur’at al-Wujd, yang bermaksud memahami secara pantas suara hati nurani (wujudan) yang seiring kehendak al-Haq (Allah).

Ketujuh : al-Kahf  ‘an al-Khawâtir, yang bermaksud mampu membedakan yang benar dan yang salah.

Kedelapan : Kathrat al-Safar, yang bermaksud melakukan perjalanan untuk mengambil i’tibar dan melatih ketahanan jiwa.

Kesembilan : Tark al-Iktisab, yang bermaksud tidak mengandalkan usahanya sendiri, akan tetapi ia lebih bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa setelah ia berusaha.

Kesepuluh : Tahrîm al-Iddihâr, yang bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukannya melainkan tumpuan harapannya hanyalah kepada Allah.

2. Konsep Tauhid dan Wahdat al-Wujud

Adapun konsep Syekh Yusuf tentang Tauhid al-Ilah, telah dirumuskan dalam risalah al-Nafhah, yaitu:

إ نه تعالى هو المو صوف بأ ية : ليس كمثله شى ء وسورة الأ خلاص.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala disifati dengan ayat al-Quran surat al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada suatu apapun yang menyerupai-Nya.
Dari pernyataan beliau di atas, jelas bahwa konsep Tauhid beliau tidak lepas dari konsep tauhid Ahl  al- Sunnah Wa al- Jamaah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Quranul Karim. Malah beliau menegaskan bahwa ayat-ayat di atas adalah merupakan dasar Tauhid yang sebenarnya yang mesti dipegangi dan diyakini. Beliau menyebutnya sebagai Um al-I’tiqâdât (induk dari keimanan).
Menurut Syekh Yusuf unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini sebagai orang yang menjalani suluk (pendekatan diri) di antaranya adalah:
Pertama : Tauhid al-Ahad, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud qadim (wujud tidak berpermulaan), qadim binafsih ( berdiri dengan sendirinya ), muqawwim lighairih (mengadakan selainnya). Sesungguhnya Allah tiada bermula wujud-Nya  dan tiada ujung-Nya, tiada serupa dengan-Nya, Dia adalah Maha Tunggal, tumpuan pengharapan, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak satupun yang menyerupai-Nya.
Kedua : Tauhid al-Af’al, ialah meyakini bahwa sesungguhnya Allah, Dialah pencipta segala sesuatunya, Dialah yang memberi daya dan kekuatan dalam melaksanakan semua urusan, apa yang dikehendaki oleh manusia tidak akan mungkin terjadi kecuali atas kemauan Allah jua, semua yang diinginkan oleh Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan mungkin terjadi.
Ketiga : Tauhid al-ma’iyyah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah senantiasa bersama hamba-Nya di manapun ia berada.
Keempat : Tauhid al-Ihatah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu.

3. Konsep Ma’rifah dan Haqiqah

Dalam konsep ma’rifah dan haqiqah, beliau selalu menghubungkannya dengan dua istilah lain, yaitu syariah dan tariqah yang selalu disinggung secara bersamaan.
Beliau menguraikan keempat istilah itu dan kedudukannya masing-masing. Syariahditafsirkan sebagai teori (nazariyyah), yaitu ilmu tentang tata cara melakukan ibadah kepada Allah mengikuti syariat Islam yang telah dikaji secara mendalam oleh ulama fiqh (fuqaha). Sementara tariqah ialah pelaksanaan (tatbiq) amal ibadah (syariah Islamiyyah) dengan penuh keikhlasan mengikuti bimbingan seorang mursyid yang dianggap berpengalaman dan memiliki ilmu yang luas tentang syariat Islam. Adapan haqiqah ,Syekh Yusuf menafsrkan sebagai suatu sikap yang sangat dalam (mauqif batiniy) ketika beribadah dengan bermusyahadah kepada al-Ma’bud (Allah). Sementara ma’rifah adalah suatu anugerah Ilahi (‘ata Ilahi) yang langsung dirasakan oleh mereka yang telah menjalani suluk mengikuti petunjuk syariah Islam dengan penuh keikhlasan dan sikap ihsan.

4. Makna Zikrullah


Menurut Syekh Yusuf ibadah zikir itu adalah wujud kesempurnaan ittiba (mengikuti) Nabi Muhammad SAW. Dan amat dianjurkan bagi mereka yang menjalani suluk(pendekatan diri) kepada Allah.

Menurut Syekh Yusuf, zikir ada tiga macam, (1) “la Ilaha Illa Allah”, dinamakan zikir orang-orang awam atau disebut pula zikir lisan atau lidah; “(2) Allah-Allah”, zikir orang-orang khawas atau disebut zikir qalb atau hati; dan (3) “Huwa-Huwa”, yang dinamakan zikir khas al-khawas atau zikir sirr atau rahasia.

5. Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang.

Menurut Syekh Yusuf, apa saja yang ada selain Allah sebenarnya tidak ada. Wujud selain Allah hanyalah sebagai bayangan wujud yang berdiri dan memberi wujud bagi yang lain. Yang demikian itu adalah wujud al-Haq. Ia menggambarkan bahwa bayang-bayang seseorang itu bukan terwujud dengan sendirinya melainkan wujud karena adanya orang itu sendiri. Yang ada itu adalah orangnya saja, sekalipun bayangan itu terlihat dengan mata.

6.  Karamah, Mu’jizat dan Istidraj.

Tentang karamah dan mu’jizat atau hal-hal yang luar biasa yang terjadi atas diri hamba (orang awam) dinamakan istidraj bukan keramah; apabila terjadi atas diri seorang saleh yang melaksanakan syariat berlebih-lebih, maka dinamakanlah karamah sebagai karunia dari Allah dan bila terjadi atas diri seorang nabi, dinamakan mu’jizat, akan tetapi bila terjadi sebelum kenabian dinamakan irhas.

7.  Al-Insan al-Kamil

Manusia sempurna menurut Syekh Yusuf adalah manusia yang mengenal Allah dan sampai ke maqam makrifat, bukanlah manusia biasa atau binatang yang berbentuk manusia. Manusia sempurna yang ingat pada Allah dalam segala urusannya kapanpun dan di manapun ia berada, segala kehendaknya untuk Allah dan selalu disisi-Nya. Manusia sempurna itulah yang dipilih Tuhan untuk menampakkan diri-Nya, lalu diberikan-Nya berbagai macam sifat-Nya kepada manusia tersebut, seolah-olah hamba tersebut setelah berakhlak dengan akhlakullah, menjadi Dia dan menjadi Khalifah-Nya di bumi dan menyerupai-Nya, karena Allah telah menciptakan Adam untuk menjadikannya  khalifatullah di bumi. Manusia macam inilah yang menjadi rahasia-Nya.

Menapaki Jejak Perjuangan Syekh Yusuf

Setelah menganggap selesai melakukan rihlah atau petualangan menuntut ilmu, maka beliau memutuskan untuk “mudik” dan menjadi juru dakwah di Makassar, saat itu usia beliau adalah 38 tahun. Harapan-harapan dan rencana-rencana yang telah disusun untuk dikembangkan di Makassar berantakan, karena sesampainya di kampung halaman, beliau menyaksikan kehancuran kerajaan Gowa pasca kekalahannya perang dengan Belanda, maksiat merajalela dimana-mana, usaha menasehati pihak kesultanan pun tak berhasil. Syekh Yusuf memutuskan untuk hijrah ke Banten yang memang sejak dari Makkah Sultan Banten telah memintanya untuk datang kesana.

Banten telah semarak berbeda dengan 15 tahun yang lalu sejak ia tinggalkan sahabatnya Pangeran Surya telah menjadi Sultan Banten dengan nama Sultan Abdul Fattah yang dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf menjadi Mufti kesultanan dan kemudian dinikahkan dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Siti Syarifah. Dengan status barunya, maka memudahkan Syekh Yusuf dalam berdakwah. Murid beliau banyak tersebar sampai pelosok-pelosok luar Banten. Beliau juga menjadi pengayom bagi masyarakat Makassar yang lari karena kecewa terhadap perjanjian Bongaya.

Diawal tahun 1682 Banten pun bergejolak, semenjak kepulangan Sultan Haji putra mahkota yang diberikan sedikit kekuasaan berarti pemisahan tempat tinggal. Belanda melakukan aksi “adu dombanya” karena serangan-serangan militer ke wilayah Banten selama ini selalu dipatahkan putra Sultan yakni Pangeran Purbaya selaku Panglima Militer saat itu.

Dimulai dengan diserangnya Keraton Surosowan (Keraton Sultan Haji) hingga datangnya bantuan Belanda dari Batavia yang saat itu Belanda dapat lebih berkonsentrasi terhadap Banten karena jatuhnya Makassar. Sampai Desember 1682 keraton Tirtayasa tidak dapat terselamatkan. Keraton Tirtayasa ditinggalkan dan melakukan taktik perang gerilya, sampai 14 maret 1683 tercatat penyerahan diri Sultan Ageng Tirtayasa ke keraton Surosowan dan ditangkap Belanda kemudian dibawa ke Batavia dan wafat disana.

Perang Gerilya pun dilanjutkan Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul yang memimpin 5000 pasukan termasuk 1000 laskar Makassar, Bugis dan Melayu yang siap mati bersama gurunya. Syekh Yusuf bergerak ke arah timur sampai Padalarang lalu berbelok kearah pesisir selatan, sampai daerah desa Karang, di sana beliau bertemu dan dibantu oleh Syekh Abdul Muhyi (Hadjee Karang) dan laskarnya.

Dalam kebersamaannya inilah Syekh Muhyi berguru kepada Syekh Yusuf tentang penafsiran ayat-ayat Qur’an yang bersifat “mistik”. Setelah melakukan perang gerilya selama 2 tahun lamanya akhirnya Syekh Yusuf ditangkap dengan kondisi seluruh pengikut-pengikutnya dipulangkan ke kampung halamannya masing-masing kecuali 49 yang harus turut serta. Yaitu 2 orang istri, 2 abdi istri, 12 santri dan putra-putri, sahabat dan para abdi dalem.

Menjalani Kehidupan dalam Pengasingan

Belanda membawa rombongan Syekh Yusuf ke Cirebon untuk kemudian dibawa ke Batavia (Benteng). Melihat besarnya kharisma Syekh Yusuf maka ada kekhawatiran Belanda, dan ditambahkan kerajaan Bone dibawah pimpinan Aru Palakka (Raja Bone ke 15 ada hubungan kekerabatan) sedang melakukan perlawanan. Maka Belanda memutuskan untuk mengasingkan Syekh Yusuf beserta rombongan pada tanggal 12 september 1684 ke wilayah Srilangka.

Dalam waktu singkat nama beliau dikenal di sana. Selama disana beliau gunakan untuk beramal, mengajar dan menulis risala-risalah, banyak murid-muridnya yang berasal dari Hindustan (India) dan Srilanka sendiri. Dan membawa namanya termasyhur di India. Kaisar Hindustan Aurangzeb Alamgir (1659-1707) yang cinta kehidupan mistik sangat menghormatinya. Kaisar ini pernah menyurati kepada wakil pemerintah Belanda di Srilanka, supaya kehormatan pribadi Tuan Syekh itu dipelihara, karena jika tuan itu diganggu akan menggelisahkan umat Islam Hindustan.

Strategi perjuangannya pun berubah dari perang fisik kepada semangat keagamaan dan semangat perjuangan. Jemaah haji dari Indonesia sekembalinya dari Mekah biasanya singgah di Ceylon (Srilanka) untuk menunggu musim barat selama1-3 bulan. Dalam kesempatan ini lah jemaah haji Tabarukan dan belajar kepada Syekh Yusuf. Selain itu juga disisipkan pesan-pesan Politik, agar tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan juga pesan-pesan agama supaya tetap bepegang teguh pada jalan Allah. Dititip pesan pada raja dan rakyat Banten dan Makassar lewat surat-suratnya:
Pertama, harus berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah,
Kedua, Harus berpegang pada Syariat dan Hakikat, Fiqih dan Tasauf, tarikat Muhammadiyah dan Suluk Ahmadiyah’
Ketiga, harus selalu berpikir dan mengharapkan diri pada Allah dengan sikap Khauf dan Raja’,
Keempat, harus selalu jujur, berkata dan berbuat benar dan baik, berbudi pekerti yang luhur dan Tawakal pada Allah,
Kelima, menghormati ulama dan cerdik pandai serta mengasihi fakir-miskin,
Keenam, jauhi sifat-sifat takabur, bangga diri dan angkuh,
Ketujuh, usahakan selalu bertobat dan selalu berzikir pada Allah
Dan surat-surat kepada raja Banten dan Makassar kabarnya tercium oleh pemerintah Belanda di Batavia. Pemberontakan rakyat di Banten dan raja Gowa ke-19 menyebabkan Pemerintah Belanda mencari latar belakangnya, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa pemberontakan ini erat kaitannya dengan Syekh Yusuf. Berupa risalah-risalah dan pesan-pesan yang menggunakan nama samaran.

Di Makassar “Kittakna Tuan LoEta (kitab tuan LoE ku) atau Pasanna Tuanta (pesan tuanku)” di Banten disebut Ngelmu Aji Karang atau Tuan She. Akhirnya diputuskan Syekh Yusuf dan 49 rombongannya untuk dipindahkan dari Ceylon ke Kaap (Afrika Selatan). Dan dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 1693 setelah 9 tahun beliau di Ceylon di usia 68 tahun, dengan menaiki kapal “Voetboeg”. Dan sampai di pantai Afrika pada tanggal 2 April 1694, selama 8 bulan 23 hari perjalanan.

Tapi api perjuangannya tidak pernah padam oleh ruang dan waktu beliau tetap mengobarkan semangat warga Afrika Selatan untuk merdeka dan membentuk komunitas muslim disana yang memang menjadi daerah buangan politik tempat itu sekarang dikenal dengan Macassar Faure.

Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun setelah 5 tahun di Afrika Selatan dimakamkan di daerah Faure dan pada tanggal 5 April 1705 kerangka dan keluarga Syekh Yusuf dipulangkan dan tiba di Makassar. Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 / 12 Zulhidjah 1116 H.

Semangatnya masih tetap menyala disetiap tempat yang disinggahinya hingga saat ini bahkan di Afrika Selatan Nelson Mandela yang berhasil membebaskan Afsel dari politik Apartheid mengaku terinspirasi oleh perjuangan Syekh Yusuf dan mengatakan “Salah seorang Putra Afrika Terbaik”.
Bahkan banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong.

Di kompleks makam dengan luas sekitar 2.500 meter persegi itu, terdapat makam lainnya yakni Sitti Daeng Nisanga yang merupakan istri Syekh Yusuf yang juga bibi dari Sultan Hasanuddin. Di sebelah kiri makam Sitti terdapat makam Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa sekaligus putra Sultan Hasanuddin) dan murid utama Syekh Yusuf yakni Syeh Abdul Dhahir. Makam Syekh Yusuf memiliki rumah makam berbentuk kubah semi kerucut yang merupakan bentuk bangunan khas abad XVII. Makam ini terletak persis di samping masjid. Terdapat sebuah lorong yang menghubungkan antara masjid dengan makam.

Kompleks makam ini hampir tidak pernah sepi karena selalu disesaki para pengunjung yang ingin berziarah. Mereka tidak hanya berasal dari Makassar dan Gowa namun juga dari daerah lain.

Prasasti Ilmu Syekh Yusuf

Kitab Kuning Seseorang dari masa lalu dikenal karena meninggalkan sesuatu yang berarti. Baik berupa prasasti maupun dokumen-dokumen penting lainnya. Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah:

1. Kaifiyat al-munghi Wal Istbath

2. Safinat an-Najat

3. Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid

4. al-Barakat as-Sailaniyah

5. an-Nafhati as-Sailaniyah

6. Mathalib as-Salikin

7. Risalat Ghayah al-Ikhtisar

Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon.
Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzoliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer.

Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, Cet. I; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994
Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat, pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18: Melacak Akar-Akar Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1994.
Basang, Djirong, Riwayat Syekh Yusuf dan Kisah I Makkutaknang dengan Mannun tungi, Jakarta: Dep.Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1981.
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Quran,1971.
Hamka, Sejarah Umat Islam, cet. II; Jakarta : Bulan Bintang, 1976
Dari Perbendaharaan Lama, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1981
Ismail, Taufik, Kata Pengantar Dalam Buku Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama Sufi dan Pejuang, Jakarta: Percetakan Obor, 1994.
Ibrahim Umar, Sulaiman, al-Turuq al-Sufiyyah Fi Malaysia Wa Atharuha ala al-Dakwah al-Islamiyah Wa al-Mujtama’al-Islam, Qairo:,1996.
Al-Kurdi, Syekh Muhammad Amin, Tanwir al-Qulub Fi Muamalat Allam al-Guyub, Al-Haramain: Liththibaat wa al-Nasyr,t.th.
Lubis, Nabillah, Menyingkap Intisari Segala Rahsia. Bandung, Mizan, 1996
Al-Sha’rany, Abd. al-Wahhab bin Muhammad al-Anshari, al-Tabaqat al-Kubra al-Musammat bi al-Lawaqih al-Anwar Fi Tabaqat al-Akhyar, Qairo: Math’ba’ah Mustafa al-Bab al-Halabi, t.th.
Syekh Yusuf al-Makassari, al-Futuhat al-Ilahiyyah. Jakarta: MS.A-101, Perpustakaan nasional, t. th.

Tafh al-Rahman bi Syarh Risalat al-Wali, MS.A-108, Jakarta : Perpustakaan Nasional, t..th.

al-Mafhah al-Saylaniyyah Fi al-Minhah al-Ahmaniyyah MS. A-101, Jakarta: Perpustakaan Nasional, t. th.

Zuhdat al-Asrar Fi Tahqiq Masharib al-Akhyar MS. A-101, Jakarta: Perpustakaan Nasioanal, t. th.

Tuhfat al-Labib bi Liqa al-Habib, MS. A-108, Jakarta: Perpustakaan Nasional

(Dari Berbagai Sumber)

No comments: