Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani lahir di Desa Tanara,
Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banteng, Jawa Barat pada tahun 1813/1815 M.
Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani
al-Jawi-Nama Panjang dari Syaikh Nawawi Al Banteni- bernasab kepada
keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan
ke-12 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada
Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni
Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas
kediaman beliau di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi.
Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama
ZubaedahSyekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin
Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH.
Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan
Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten.
Usai dari
Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta
Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi
pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim
haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut
ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu
kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti
Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf
Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan,
Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga
tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa
bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar
dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak
menguntungkan pengembangan ilmunya. Beliau menyaksikan praktik-praktik
ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia
Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti
umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten
mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda
membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid.
Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro
yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan
Belanda (1825- 1830 M).
Saat itu, hampir semua ulama Islam
mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Sebagai intelektual yang
memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan
kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri
Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830
M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat
Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia.
Lagi
pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya,
begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid
yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur
menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak
saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi
al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan
menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang
datang dari berbagai belahan dunia.
Syaikh Nawawi masih tetap
mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang
biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau
menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini
tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal,
Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Dari
beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu
mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama
yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi
kepentingan agama dan bangsa.
Dikenal sebagai ulama dan pemikir
yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat
konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun
demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia
memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan
reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia
kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama
dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian
kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka
menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Laporan Snouck Hurgronje
juga mengatakan Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga
12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah
muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH.
Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil
dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Konon, K.H. Hasyim
Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering
menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh
Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H.
Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath
al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya. Mereka inilah yang kemudian
hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air.
Salah seorang
cucunya, yang juga mendapat pendidikan sepenuhnya daripada beliau ialah
Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 Hijrah/1868
Masehi – 1324 Hijrah/1906 Masehi). Pada halaman pertama Al-Aqwalul
Mulhaqat, Syeikh Abdul Haq al-Bantani menyebut bahawa Syeikh Nawawi
al-Bantani adalah orang tuanya (Syeikhnya), orang yang memberi petunjuk
dan pembimbingnya. Pada bahagian kulit kitab pula beliau menulis bahawa
beliau adalah `sibthun’ (cucu) an-Nawawi Tsani. Selain orang-orang yang
tersebut di atas, sangat ramai murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang
memimpin secara langsung barisan jihad di Celegon melawan penjajahan
Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai
pemimpin pemberontak Celegon ialah: Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji
Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji
Ismail. Semua mereka adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang
dikaderkan di Mekah.
Karomah
Konon,
pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan
telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena
tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta,
yang beliau diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya.
Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk
kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis.
Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan
Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari
telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri
beliau itu membawa bekas yang tidak hilang. Karamah beliau yang lain
juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta
yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan
cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama
dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki
kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah
Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang
tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân.
Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap
berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi
remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak
bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan
keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân.
Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.“
“Lihatlah
Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah!
Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini
agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat
menghadap ke Ka΄bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.”
Sayyid Utsmân
termangu. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi
remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari ,
remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai
kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di
manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid
Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita
mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai
aslinya.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang
yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang
belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang
mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di
luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga
datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan
tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar
kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang
juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu
tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya.
Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu
tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan
adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet
atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama
dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan
tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini
mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya
dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan
kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang
sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang
membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti
sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah.
Demikianlah
karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di
dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah
Ta’ala berlimpah pada beliau. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi
akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang
beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja
yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat
lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu
pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab
lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah
tangan beliau.
Hal lain diceritakan Kiai Tamad di kediamannya,
kampung Pungangan, Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang Syekh Nawawi
adalah seorang alim yang seumur-umur tidak pernah memakan ikan jenis
apapun. Suatu ketika, seorang Arab (tidak disebutkan namanya) mengejek
kebiasaan orang Nusantara. Ia mengatakan, orang Nusantara itu memakan
barang haram, yaitu belut. Menurut orang Arab itu, belut adalah ular,
maka hukumnya haram.
Meski Syekh Nawawi tak pernah memakan belut,
ia yakin hewan yang umum dimakan di tanah kelahirannya itu halal. Maka
ia mengatakan kepada orangArab, bahwa belut halal!
Orang Arab menolak pendapat itu.
Karena
kehabisan cara untuk menjelaskan, Syekh Nawawi memukulkan tangannya ke
dalam pasir di hadapan orang itu. Tangannya langsung menelusup seperti
ke dalam lumpur. Ia mengambil sesuatu.
Ketika tangannya diangkat
kembali, seekor belut berada dalam genggamannya. Lalu ia menunjukkan
kepada orang itu. Inilah belut yang dimakan orang Nusantara. Beda dengan
ular.
Syekh Nawawi menjelaskan perbedaan ular dan belut terletak
pada insangnya. Karena belut memilki insang, maka hukumnya seperti
ikan.
Karya Syekh Nawawi Albantani
Sejak
15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis
buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia
termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai
berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat
dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih
dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu
kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya.
Di antara buku yang
ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah
Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam,
al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid,
Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah,
Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin.
Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan
kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama
Hijaz hingga sekarang.
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat
monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain,
karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang
sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah
atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim
bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis
ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu
Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara
dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di
bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah
al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj
al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya
beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa,
yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua
pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama
di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang
ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara
rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir
seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat,
terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut
sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah
atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah
tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Berkat
kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang
diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor
Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai
al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang
sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar
biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang
dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi
Arabia. Sementara para Ulama Indonesiamenggelarinya sebagai Bapak
Kitab Kuning Indonesia.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh
Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan
Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang
dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad
dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat,
bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i,
Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram
bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu
keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda
dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka
lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang
keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat
Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan
seperti Syekh Nawawi Al-Bantani.
Wafat
Syaikh
Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal
Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang
istri wafat mendahului beliau.
Masa selama 69 tahun mengabdikan
dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan
cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah
pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat
tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan
Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan
dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq
Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya
(Berbagai Sumber)
No comments:
Post a Comment