RONGGOWARSITO DENGAN SASTRA
MEMBANGKITKAN SEMANGAT JUANG PRIBUMI
Raden
Ngabehi Rangga Warsita = Ronggowarsito yang sebenarnya merupakan nama
pemberian dari raja, sesuai dengan jabatannya sebagai Kliwon Carik di
istana Surakarta. Bernama aseli Bagus Burhan, seorang pujangga yang
lahir di Surakarta pada tahun 15 Maret 1802. Ronggowarsito memiliki
jalur sebagai berikut : Ronggowarsito-Mas Pajangswara - Tumenggung
Sastronagoro alias Yasadipura II-Raden Ngabei Yasadipura Tus Pajang
alias Yasadipura I-P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)-
P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu) - P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran) -
P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin) - P. Hadiwijoyo (Joko
Tingkir) - Ki Ageng Pengging. Dikala kecil ayahnya meninggal dunia,
Ronggowarsito dibesarkan oleh kakeknya yaitu Yasadipura II.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
Namun demikian sang
kakek, R. Tumenggung Sastronegoro, telah meramalkan kalau nanti cucu
kinasihnya ini akan menjadi seorang pembesar setaraf dengan kakek
buyutnya. Untuk mewujudkan ramalannya ini, sang kakek kemudian
menitipkan Bagus Burhan ke Kyai Imam Bestari pemilik pondok pesantren
Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo. Bagus Burham berangkat ke
Pesantren Tegalsari disertai embannya yang bernama Ki Tanujoyo.
Pada saat di pesantren, kebengalan Bagus Burhan semakin menjadi. Hal ini membuat Kyai Imam Bestari kewalahan. Kesukaannya bertaruh dan berjudi sabung ayam tidak kunjung luntur. Karena kebiasaan buruknya ini, maka sering kali bekal yang dibawanya dari Solo habis tak karuan di arena judi sabung ayam.
Karena kenakalannya,
setelah setahun berguru, tak ada kemajuan sama sekali. Oleh karena
itulah Kyai Imam Bestari memintanya agar pulang ke Solo. Sang Kyai
merasa tak sanggup untuk mengajarnya ilmu-ilmu keagamaan.
Wibawa Kyai Imam Bestari
membuat Bagus Burhan tak kuasa untuk menolak titahnya. Namun, dia
menghadapi dilema. Kalau dirinya pulang ke Solo, kakeknya pasti akan
marah besar.Karena takut pada murka kakeknya inilah, maka bersama dengan
Ki Tanujoyo pamomongnya, Bagus Burhan memutuskan untuk tidak pulang ke
Solo. Dia memilih berguru ke Kediri. Dikisahkan, dalam perjalanan menuju
Kediri, Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo tersesat di sebuah hutan. Karena
hingga tiga hari tiga malam tak menjumpai rumah penduduk, maka selama
itu pula mereka tak makan dan tak minum. Karena kelaparan, Bagus Buhan
yang biasa hidup enak dan serba kecukupan akhirnya pingsan. Sementara
itu, di tempat lain, yakni di padepokan Kyai Imam Bestari, sang Kyai
memperoleh wangsit yang memberikan pertanda bahwa Ponorogo akan dilanda
kelaparan. Dalam wangsit itu dikatakan bahwa bencana kelaparan ini akan
tertolong bila Bagus Burhan yang telah pergi jauh itu mau diajak kembali
ke Ponorogo. Demi mendapatkan isyaroh ini, sebagai seorang linuwih,
Kyai Imam Bestari langsung mengirim utusan untuk menjemput kembali bocah
Bengal itu ke Solo. Celakanya, menurut laporan yang diperoleh, para
utusan itu tidak mendapatkan Bagus Burhan di Solo. Bahkan, anak itu
belum juga sampai ke rumah kakeknya. Setelah mendapatkan laporan itu,
Kyai Imam Bestari bermunajat kepada Allah untuk meminta petunjukNya.
Singkat cerita, Bagus Burhan memang berhasil diketemukan. Bocah ini pun
tidak menolak ketika diajak kembali ke padepokan, karena ini memang
harapannya agar tidak mendapatkan murka dari sang kakek.
Saat menetap kembali di
pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Perilaku Bagus Burhan
ternyata tak kunjung berubah. Tetap suka berboros-boros dengan bertaruh
dan berjudi sabung ayam. Hal ini sangat mengecewakan Kyai Imam Bestari.
Karena tak tak tahan melihat kelakukan santrinya, maka suatu hari sang
Kyai memarahi Bagus Burhan dengan kata-kata yang sangat menusuk perasaan
si anak muda.
Mendapatkan kemarahan
hebat dari Kyai Imam Bestari, Bagus Burhan berniat segera hengkang dari
pesantren. Untunglah, dalam kondisi seperti iini Ki Tanujoyo segera
mengambil peranan. Dia berusaha tampil menolong keadaan, dengan cara
membesarkan hati Raden Bagus Burhan. "Raden ini bukan keturunan orang
kebanyakan. Leluhur Raden adalah bangsawan keraton yang hebat. Untuk
diketahui, itu semua bukan dicapai dengan hidup enak-enak. Akan tetapi,
dicapai dengan cara laku prihatin, tirakat, mesu budi dan patiraga.
Apakah Raden tidak ingin seperti mereka?". Mendengar perkataan Ki
Tanujoyo seperti itu, akhirnya bangkitlah semangat Raden Bagus. Dia pun
mencoba tetap bertahan di pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari,
Ponorogo. Sampai suatu ketika, dirinya minta diantar ke kali Kedhung
Batu untuk menjalani tirakat, sebagaimana yang pernah ditempuh oleh para
leluhurnya. Berkat kekerasan hati dan ketekunannya, maka setelah
menjalani tirakat selama 40 hari 40 malam di kedung Watu, tanpa makan
dan minum, kecuali sesisir pisang setiap harinya, akhirnya ada hasil
yang dia peroleh. Dari tirakatnya ini Raden Bgus memperoleh wisik, yakni
ditemui eyang buyutnya, R.Ng.Yosodipuro I. Dia diminta menengadahkan
telinganya, dan gaib sang kakek buyutnya kemudian masuk kedalamnya.
Ada kisah lain yang tak
kalah aneh. Konon, Ki Tanujoyo yang menemaninya dipinggir kali, sewaktu
menyiapkan nasi untuk buka saat tirakat menginjak hari kw 40, orang tua
ini melihat ada sinar masuk ke dalam kendilnya, yang ternyata berupa
ikan untuk lauk sang Bagus berbuka puasa. Semenjak usai menjalani
tirakat ini, pribadi Raden Bagus Burhan pun berubah 180 derajat.
Kebengalannya berubah menjadi sikap yang sangat patuh. Tak hanya itu,
kalau pada awalnya dia santri yang bebal, akhirnya berubah menjadi
santri yang cepat menerima pelajaran yang diberikan oleh Kyai Imam
Bestari. Dia juga memiliki kelebihan dalam hal mengaji dan berdakwah,
sehingga jauh lebih menonjol dibandingkan santri-santri lainnya. Karena
kecerdasannya ini, Bagus Burhan memperoleh sebutan baru dari Kyai Imam
Bestari, yakni Mas Ilham. Ketika pulang ke Surakarta, Burham diambil
sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia
kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom
tanggal 28 Oktober 1819.
Pada masa pemerintahan
Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burham tersendat-sendat karena raja
baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya
agar pangkat Burham dinaikkan. Pada tanggal 9 November 1821 Burham
menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati
Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan
berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burham berkelana sampai ke pulau
Bali di mana ia mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar
Sidalaku. Bagus Burham diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom
bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal
di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian kakeknya
(Yasadipura II), Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan
Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September 1845. Pada masa
inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan
Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal
ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian. Naskah-naskah babad
cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan
Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini
merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat
kecil.
Hubungan Ranggawarsita
dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid
seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi
Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang
tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi.
Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun
keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Ranggawarsita meramalkan
datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka
Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan
diperoleh angka 7-7-8-1. PembacaanSuryasengkala adalah dibalik dari
belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi,
yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten.
Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain :
• Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa
• Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
• Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata (C.F. Winter)
• Sapta dharma
• Serat Aji Pamasa
• Serat Candrarini
• Serat Cemporet
• Serat Jaka Lodang
• Serat Jayengbaya
• Serat Kalatidha
• Serat Panitisastra
• Serat Pandji Jayeng Tilam
• Serat Paramasastra
• Serat Paramayoga
• Serat Pawarsakan
• Serat Pustaka Raja
• Suluk Saloka Jiwa
• Serat Wedaraga
• Serat Witaradya
• Sri Kresna Barata
• Wirid Hidayat Jati
• Wirid Ma'lumat Jati
• Serat Sabda Jati
(Berbagai Sumber)
No comments:
Post a Comment